Survei LSI: Praktisi dan Pengamat Ingin UU Pemilu Tunggal


RIAU MERDEKA - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei bertajuk Opinion Makers Survey: Proses Pemilu, UU Pemilu, Pemilu inklusif dan uang dalam politik. Dalam surveinya, LSI menggunakan metode purposive sampling dengan 216 responden yang berasal dari para ahli yang berpengalaman.

Mereka berasal dari 6 wilayah di Indonesia yakni Banda Aceh, DKI Jakarta, Jayapura, Makassar, Medan dan Surabaya pada 8 Februari-25 Maret 2016.

"Survei ini dilakukan untuk merekam opini para ahli yang berpengalaman sebagai praktisi, peneliti, maupun pengamat Pemilu Indonesia tentang 4 UU Pemilu di Indonesia saat ini" kata Peneliti LSI, Rizkha Halida di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/10).

Hasil surveinya menunjukkan ada 5 poin penting yang menjadi catatan. Yakni tentang UU pemilu, keuangan politik, transparansi penghitungan suara, penyelesaian sengketa pemilu dan keterwakilan perempuan dalam pelaksanaan pemilu.

Mayoritas responden setuju bahwa ada tumpang tindih dan inkonsistensi antara berbagai UU Pemilu yang ada saat ini. Dari 4 UU tersebut para responden menginginkan adanya penyederhanaan aturan menjadi satu UU Pemilu.

"Mayoritas responden percaya bahwa UU pemilu yang tidak jelas dalam hal isu-isu kunci seperti peraturan keuangan kampanye dan pengawasan proses pemilu. Mereka juga setuju seharusnya disederhanakan menjadi satu UU pemilu," ujar Rizka.

Pada poin keuangan politik, Rizka melanjutkan mayoritas responden mendukung transparansi dan pengawasan keuangan kampanye dan partai politik. Mereka setuju dengan aturan yang secara spesifik mewajibkan laporan keuangan yang terstandarisasi, pembatasan pengeluaran, dan pembatasan donasi bagi kandidat atau partai politik.

Selanjutnya tentang transparansi penghitungan surat suara yang dilakukan secara manual. Meski telah dilakukan secara transparan dalam penghitungan, namun menjadi kekhawatiran ketika dilakukan rekapitulasi surat suara.

"Kebanyakan para pakar yang disurvei cenderung setuju bahwa penerapan teknologi baru seperti proses rekapitulasi hasil elektronik dan sistem pendaftaran pemilu yang terpusat dapat meningkatkan transparansi," tutur Rizka.

Poin selanjutnya yakni tentang penyelesaian sengketa pemilu (PSP). Para responden mengaku ada ketidakpuasan yang signifikan akan banyak elemen proses PSP terutama yuridiksi yang tumpang tindih dari lembaga lembaga yang ada.

"Responden secara spesifik menilai PSP terutama keputusan MK cenderung memuaskan. Namun praktik lain seperti kapasitas penegak hukum, hakim, yuridiksi antara lembaga terkait, jangka waktu gugatan dan mekanisme naik banding masih cenderung dinilai kurang memuaskan," terang Rizka.

Terakhir tentang keterwakilan perempuan dalam pemilu, para pakar melihat tidak proporsional perempuan di badan-badan legislatif dan lembaga pemilu. Mayoritas mendukung 30 persen staf perempuan di lembaga pemilu seperti KPU, Bawaslu serta di legislatif. [merdeka]
TERKAIT