Intoleransi Dan Konflik

Sulitnya Menjaga Toleransi dan Kerukunan Antar Umat Beragama

Oleh : Hojot Marluga

JAKARTA-Kasus di Kabupaten Sukabumi merupakan peristiwa yang sangat memprihatinkan. Perusakan rumah saat ibadah tersebut menimbulkan keresahan dan kekhawatiran di masyarakat. Benar, rumah itu bukan rumah ibadah, tetapi di dalam rumah boleh beribadah. Tentu ketentuan itu dilindungi oleh Undang-Undang.

Kejadian itu, oleh saksi mata dan korban yang juga pemilik rumah sangat terkejut dan terluka dengan kejadian tersebut. Mereka bukan hanya trauma tetapi terganggu karena diganggu beribadah, tetapi juga merasa dikhianati oleh tindakan intoleran.

Kasus seperti ini menjadi pengingat bahwa toleransi dan kerukunan antar umat beragama sangat penting untuk dijaga. Tentu, kita patut berterima kasih pada Gubernur Jawa Barat, Dedy Mulyadi, karena sigap, turun tangan menyelesaikan kasus ini, keadaan bisa diredam, dan dapat segera diselesaikan dengan baik, masyarakat dapat lagi hidup dengan damai dan harmonis kembali.

Sekali lagi, kasus seperti ini, harus menjadi pelajaran berharga untuk kita bersama. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua pihak, tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis dan damai.

Kasus perusakan rumah, oleh karena beribadah di dalam rumah di daerah Cidahu, Sukabumi. Apakah tak boleh beribadah di rumah? Bisa. Sekali lagi dilindungi Undang-Undang. Lalu, apa beda rumah ibadah dan rumah? Rumah ibadah tentu tempat ibadah yang sifatnya umum.

Tetapi dalam rumah bisa ibadah, tentu itu khusus untuk pembinaan khusus. Tak ada masalah. Lagi-lagi tak harus minta izin ke pemerintah setempat. Kalau disuruh izin sangat mengejutkan dan menimbulkan keresahan di masyarakat.

Saksi mata dan korban sangat terkejut dan terluka dengan kejadian tersebut. Peristiwa ini menunjukkan pentingnya menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Semoga kasus ini dapat segera diselesaikan dengan baik dan masyarakat dapat hidup dengan damai dan harmonis kembali.

Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua pihak, tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan.

Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis dan damai. Peristiwa itu pasti sangat traumatis bagi mereka yang alami langsung.

Betapa tidak, kedatangan mereka yang tiba-tiba dan permintaan untuk keluar segera penghuni pasti membuat mereka merasa terancam dan takut.

Adalah Fredrik J Pinakunary seorang pengacara, menyebut, tindakan sekelompok massa yang membubarkan kegiatan ibadah retret agama Kristen yang diduga telah dilakukan dengan tindakan anarkis, berupa memaki, memecahkan kaca jendela, menghancurkan mobil, dan properti yang terjadi pada 27 juni 2025 di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat adalah perbuatan pidana.

Karena itu, Fredrik mengatakan, sebagai anak bangsa mendesak kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas para pelaku berdasarkan pasal 46 KUHP tentang hukuman terhadap orang yang menghancurkan barang milik orang lain.

"Perbuatan mereka jelas, termasuk dalam tindak pidana umum tindak pidana murni dan bukan tingkat pidana aduan. Karena itu, polisi tak harus menunggu adanya laporan yang masuk kami juga berpendapat, bahwa perilaku intoleran dan diskriminatif tersebut tak, serta-merta dapat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif karena telah menimbulkan keresahan dalam masyarakat berpotensi memecah belah persatuan bangsa dan bisa berdampak konflik sosial di NKRI,"ujarnya.

Dia juga berpedoman pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. "Kami juga perlu tegaskan bahwa berdasarkan pasal 28 ayat 1 UUD 45 hak beragama, merupakan hak asasi manusia, yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, umat Kristen yang dilakukan tersebut sekalipun tidak dilaksanakan di rumah ibadah yang bersifat permanen."

Biang keroknya, masih terdapat kesalahpahaman tentang izin mendirikan bangunan rumah ibadah di Indonesia. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan No 9 Tahun 2006 mengatur tentang pendirian rumah ibadah, yang mewajibkan adanya izin dan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Namun, peraturan ini sering dianggap membatasi kebebasan beragama dan memperumit proses pendirian rumah ibadah, terutama bagi kelompok minoritas.

Permasalahan yang timbul dari peraturan ini antara lain Persyaratan yang Rumit. Peraturan mewajibkan daftar nama pengguna rumah ibadah minimal 90 orang dan dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang, yang seringkali sulit dipenuhi oleh kelompok minoritas.

Persyaratan tersebut dapat memicu konflik antar kelompok agama dan menimbulkan tindakan intoleransi. FKUB diharapkan berperan dalam memfasilitasi dialog dan resolusi konflik terkait pendirian rumah ibadah.

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat upaya untuk mempermudah proses pendirian rumah ibadah. Misalnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan penghapusan rekomendasi FKUB sebagai syarat administratif pendirian rumah ibadah. Namun, usulan ini masih menuai pro dan kontra.

Serangkaian peristiwa intoleransi yang terjadi di Indonesia dapat berdampak negatif pada Kesatuan dan Persatuan Bangsa. Peristiwa intoleransi dapat memecah belah masyarakat dan mengancam kesatuan bangsa. Pandangan Dunia Internasional.

Intoleransi dapat mempengaruhi citra Indonesia di mata internasional dan membuat investor ragu untuk menanamkan modal di Indonesia. Situasi ekonomi global yang sulit dapat diperburuk oleh tindakan intoleransi yang membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia

Pemerintah Indonesia saat ini perlu cepat merumuskan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB) untuk menggantikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

Ranperpres ini diharapkan dapat memperbaiki proses pendirian rumah ibadah, terutama bagi warga minoritas. Namun, beberapa pihak menilai bahwa Ranperpres PKUB masih memuat beberapa hal yang bisa menyulut konflik antar umat beragama dan mendiskriminasi kelompok minoritas.

Penulis : Hotman J. Lumban Gaol (Hojot Marluga), seorang pegiat perbukuan, editor, penulis dan jurnalis

TERKAIT